(Opini) Di Balik Baju Ihram, Ada Percintaan Termahal Sepasang Suami-Istri

By Admin


nusakini.com-Makkah-Malam itu telepon genggam di tangan Abrar Zym, kepala sektor enam Mahbas Jin, Makkah, berdering nyaring. Terdengar suara panik. Seseorang melaporkan ada satu jemaah haji menolak melakukan tawaf ifadhah padahal itu adalah rukun haji yang harus dilakukan. Meninggalkan thawaf ifadhah dengan sengaja bisa membuat ibadah haji seseorang tidak sah. Orang yang menelepon itu ternyata ketua kelompok terbang (kloter) dari provinsi tertentu di Sumatera.  

Abrar kemudian menyarankan agar si ketua kloter mencari orang yang paling disegani lelaki tua yang menolak melakukan tawaf ifadhah itu. Nasihat orang yang disegani biasanya ampuh. Tapi, ketua kloter tadi buru-buru menyahut bahwa lelaki ngeyel di hadapannya itu tidak takut pada siapa pun.

Dia dan seorang petugas Tenaga Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI) di kloter yang dipimpinnya sudah dituding-tuding oleh lelaki tua itu. Si jemaah ngeyel ini berpendapat, hukum haji yang dia lakukan kali ini sunat karena dia sudah berhaji beberapa tahun silam. Jadi, kalau pun sekarang ibadah hajinya tidak sah gara-gara dia menolak tawaf ifadhah, itu tak jadi soal.  

Alasan si lelaki tua ini tidak bisa diterima oleh semua pihak, baik oleh si ketua kloter, petugas TPIHI, maupun oleh Abrar sendiri sebagai ketua sektor. Ibadah haji tidak bisa main-main, keberhasilan atau kegagalan jemaah dalam berhaji menjadi tanggung jawab petugas di akhirat. Karena itu, dengan nada gusar sekali lagi Abrar bertanya: ‘’Ah, masa tak ada orang yang dia takuti? Orang dari daerah asal dia tak ada yang dia takuti?’’ 

Tak lama si ketua kloter menyebut ada satu orang yang paling disegani lelaki tua ini, yakni Kyai Abdurrahim Bahar (bukan namanya sebenarnya), guru spiritualnya. Tapi sang guru sedang berada di Sumatera, tidak sedang berhaji. ‘’Ah sudah, tunggu sebentar kalau begitu, saya masih di jalan,’’ jelas Abrar sambil menutup telepon genggamnya dengan riang. 

Sejam kemudian Abrar datang lengkap dengan sorban di kepalanya layaknya seorang ulama besar. Dia langsung masuk ke kamar jemaah yang ngotot tidak mau melaksanakan thawaf ifadhah itu sambil menyamar sebagai utusan Kyai Abdurrahim Bahar. Naik ke tempat tidur, sambil memasang aksi sebagai utusan dari kyai besar, Abrar langsung berkata kepada si lelaki ngeyel itu: ‘’Kapan bapak mau tawaf. Saya utusan Kyai Abdurrahim Bahar. Bapak mau tawaf atau tidak?’’  

Lelaki tua ini langsung bingung antara percaya atau tidak ada utusan kyai kampung yang dia segani datang kepadanya dan langsung marah-marah. Begitu dia mau ngeyel lagi, ‘utusan jadi-jadian’ ini langsung membentak: ‘’Ah sudah, kapan bapak tawaf, mau pakai kursi roda atau jalan sendiri. Saya tak mau susah-susah, ini amanah. Kalau bapak tak tawaf juga, besok saya muncul lagi tiba-tiba di kamar ini. Awas ya!’’ 

Abrar kemudian meninggalkan kamar itu dengan cepat. Si ketua kloter, petugas TPIHI dan si jemaah ngeyel yang ada di kamar itu melongo semua. Tapi strategi Kasektor yang murah senyum ini ampuh. Esoknya dia dikirimi foto oleh ketua kloter. Dalam foto itu, lelaki tua ngeyel tampak sedang tersenyum di kursi roda, siap-siap tawaf. Kalau saja dia tahu telah ditipu oleh ‘kyai jadi-jadian’ yang mengaku utusan gurunya di Sumatera, jangan-jangan dia malah ngamuk haha ... !  

Kisah nyata ini dilakukan Abrar, lelaki yang dua hari menjelang berangkat ke tanah suci baru saja dilantik menjadi Kepala Kantor Kemenag Aceh Besar. Jabatan sebelumnya adalah Kepala Bidang Penyelenggara Haji dan Umrah di Kanwil Kemenag Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Selama di Tanah Suci dia ditugaskan sebagai kepala Sektor Enam Makkah. Juli tahun ini disebutnya sebagai bulan ajaib penuh berkah karena dalam satu bulan itu dia punya tiga jabatan sekaligus: Kabid PHU, Kakankemenag, dan sekarang Kasektor.  

Kisah Abrar menjadi kepala sektor layak ditulis karena ia mempraktikkan apa yang disebut manajemen ‘’Kleueng’’ – bahasa Aceh yang berarti Elang, burung bermata tajam, bersayap lebar, bercakar kuat. Dengan sayapnya yang lebar Elang bisa terbang tinggi tapi tidak kehilangan kontrol di bumi karena matanya tajam. Itulah keistimewaan ‘’Manajemen Kleueng’’. Filosofi Elang dia pilih karena dengannya ia merasa wajib untuk mampu mengontrol 30 anak buah yang terbang bersamanya dari Jakarta dan 23 tenaga musiman (temus) yang direkrut dari kalangan mahasiswa dan mukimin. Dengan mata, sayap dan cakar Elang dia juga harus mampu melayani 18.600 jemaah haji yang tinggal di sektor yang dipimpinnya.  

Ada 1001 masalah dihadapi Abrar, mulai dari anak buahnya dari unsur TNI-AD berpangkat mayor dimaki-maki jemaah yang mengaku pejabat (soal ini akan ditulis dalam catatan tersendiri insya Allah), jemaah ditipu ribuan riyal dekat Masjid Haram oleh sesama warga Indonesia, puluhan jemaahnya tersesat saat pulang dari Masjid Haram, atau beberapa jemaahnya terkena musibah kecelakaan mobil sampai harus diamputasi. Namun, dari semuanya, paling menarik adalah kasus ‘’kecelakaan ranjang’’ yang dilakukan pasangan suami istri sebelum mereka melakukan ‘’tahallul tsani’’. Belum paham istilah ‘’tahallul tsani’’? Mari belajar fiqih haji dulu sebelum cerita dilanjutkan.  

Saat melaksanakan ibadah haji, seseorang harus memakai baju ihram lalu wukuf di Arafah. Ada banyak larangan buat orang berihram, mulai dari yang ringan misalnya memotong kuku sampai terberat misalnya suami istri berhubungan badan.

Jika ada suami istri tengah berihram berhubungan badan sebelum wukuf dilakukan, hukumannya sangat berat: mereka harus memotong seekor unta, tetap harus menuntaskan ibadah haji, tapi kewajiban hajinya tidak gugur. Suami istri ini tetap harus melaksanakan ibadah haji tahun berikutnya. Tapi, jika suami istri itu berhubungan badan setelah melempar jumrah aqabah dan mencukur rambut (ini namanya tahallul awal atau halal pertama), mereka hanya harus memotong seekor unta dan ibadah haji mereka sah.  

Nah, usai ibadah haji berlangsung, seorang laki-laki setengah baya dengan agak malu-malu menemui Abrar diam-diam. Wajahnya terlihat gundah. Rupanya, usai melempar jumrah dan bercukur rambut, ia tiba di hotel lebih awal bersama istrinya ketika hotel masih sepi. Maklum sebagian besar penghuni hotel saat itu sedang tinggal di tenda-tenda Mina. Hasrat kelelakiannya tak tertahan lalu bersama istrinya ia melakukan pelanggaran berat dalam berhaji.  

‘’Saya tidak bisa tidur nyenyak, Pak, setelah kejadian itu. Apa yang harus saya lakukan?’’ kata lelaki itu seperti ditirukan Abrar.  

Sebagai pejabat Kabid PHU di Kanwil Kemenag NAD, Abrar tentu tahu hukuman atas perbuatan itu adalah memotong seekor unta. Tapi lelaki yang menemuinya ini mengaku tak punya uang buat membeli unta. Dia hanya punya uang untuk membeli seekor kambing. Untuk sementara, dia terima uang denda sebesar harga kambing itu apalagi ada sebagian kecil ulama berpendapat dendanya bisa sebesar harga kambing. Untuk itu Abrar berjanji akan melakukan konfirmasi kepada rekan-rekannya yang menguasai fiqih haji, terutama konsultan ibadah haji. Di Sektor Enam, sayalah konsultan ibadah haji yang dimaksud.  

Saat musibah berlangsung, saya sedang berada di Madinah lalu ke Jeddah bersama delegasi Amirul Hajj. Usai saya pulang dari Jeddah, seperti tak tahan lagi Abrar langsung memanggil saya. Dia lalu menceritakan kronologi kejadian itu pelan-pelan dan hati-hati. Tapi, sebelum ceritanya selesai, saya langsung memotongnya dengan cepat: 

‘’Dendanya potong unta!’’ 

‘’Tidak bisa kambing, ustadz?’’  

‘’Unta. Potong unta. Itu pendapat saya,’’ kata saya tegas.  

Abrar tampak berwajah murung usai dua kali saya sebut nama unta. Rupanya sejak awal dia berharap saya menjawab kambing, atau setidaknya lebih longgar dalam pilihan. Biasanya saat ditanya jalan keluar hukum haji saya selalu menjawab ke arah memudahkan orang ketimbang menyusahkan. Tapi kali ini saya tegas sekali.  

‘’Hukuman ibadah haji menjadi ringan jika pelakunya tidak tahu atau lupa,’’ jelas saya. ‘’Tapi jika orang yang melanggar itu paham manasik namun dia tetap melanggar, seperti laki-laki yang antum ceritakan ini, ya berarti dia sudah melawan Allah. Dia harus dihukum terberat.’’  

Selama dua atau tiga hari setelah itu, Abrar terus berusaha bernegosiasi dengan saya, siapa tahu saya berubah pikiran dengan mengajukan dalil-dalil yang meringankan. Ternyata saya tetap konsisten dengan nama unta.  

Maka, dengan berat hati, Abrar ditemani seorang ustaz yang berasal dari daerah suami istri itu berasal menemui sang istri. Ia ceritakan bahwa sebagai istri, perempuan itu tetap harus memotong unta atau tujuh ekor kambing untuk menebus kesalahan mereka berhubungan badan sebelum ibadah haji selesai ditunaikan. Abrar mengaku berat sekali menyampaikan hal itu kepada perempuan tadi. Tapi, di luar dugaan, ternyata perempuan itu dengan ikhlas siap membayar denda memotong seekor unta atau tujuh ekor kambing.  

‘’Saya akan bayar, jangan khawatir,’’ kata perempuan itu dengan tegas. ‘’Saya ingin ibadah haji suami saya sempurna dan sah. Kesalahan akan kami tebus, berapa pun bayarannya. Lagi pula, dua hari lalu itu adalah percintaan kami yang terakhir dan paling indah seumur hidup pernikahan kami.’’  

Abrar dengan ‘’Manajemen Elang’’ yang dijalaninya hanya bisa tertunduk. Dua hari setelah berhubungan badan dengan istrinya, lelaki yang pernah menemui dirinya dengan malu-malu itu ternyata telah dipanggil Allah untuk selamanya. Ia pergi untuk tak kembali, membawa kenangan bercinta paling mahal dan paling indah di tanah suci bernama Makkah Al-Mukarramah. (Helmi Hidayat)